Sebuah Email Tentang Rumah Tuhan
Oleh : Sabrul Jamil
Sebuah e-mail tiba di PC saya. Isinya tentang pengalaman seorang pekerja asing. Ceritanya, pekerja asing itu tiba untuk pertama kalinya di salah satu perkantoran megah di kawasan Jakarta. Usai memarkirkan mobilnya di basement, ia melihat sekelompok orang, laki dan perempuan, tengah melakukan suatu kegiatan yang aneh di matanya, di salah satu ruangan di basement tersebut. Ruang tersebut kecil dan pengap, dengan tembok rendah mengelilinginya.
Sesampainya di atas, orang asing ini bertanya tentang apa yang dilihatnya barusan. Orang Indonesia yang kebetulan muslim menjelaskan bahwa orang-orang di basement tersebut sedang sholat, menyembah Allah, Tuhan umat Islam. Sholat adalah kewajiban yang dilaksanakan sehari lima kali. Dengan takjub orang asing itu menjawab, betapa rendahnya apresiasi umat Islam terhadap Tuhan mereka.
Jika terhadap ia yang cuma manusia bisa disediakan tempat kerja yang lapang dan nyaman, mengapa untuk Tuhan mereka hanya tersisa sebuah ruangan pengap di basement?
Pembaca, tidakkah keheranan orang asing itu menjadi keheranan kita juga?
Suatu sore, di salah satu gedung tinggi di kawasan matraman. Setelah menyelesaikan suatu urusan, saya bertanya ke salah satu karyawan di gedung megah tersebut letak musholla. Sudah lewat pukul empat sore. Karyawan tadi, penuh semangat, menunjukkan letak musholla. Dengan berterima kasih, saya bergegas mengikuti arah yang ditunjukkan. Saya melewati areal parkir yang pengap, suatu kantor yang saya perkirakan markas satpam (banyak satpam yang duduk-duduk di depan kantor tersebut, dengan uniform berantakan), dan sampailah saya ke gedung mungil, dengan tulisan kusam tertempel di salah satu temboknya: MUSHOLLA.
Musholla ini terletak persis di belakang gedung tinggi yang baru saja saya tinggalkan. Ukurannya tak lebih besar dari ruang tamu rumah saya. Temboknya setengah terbuka, dan dimanfaatkan untuk meletakkan sajadah-sajadah, dan… Helm!
Di ruang yang sempit itu ada seseorang yang tertidur pulas. Tempat wudhu terletak tak jauh dari situ. Ada dua kran. Akhirnya, di naungi suasana pengap dan beraroma kurang sedap, saya menunaikan kewajiban saya kepada Rabb Penguasa Jagat. Ada rasa malu yang tak terkatakan, hanya sebegini apresiasi saya kepada Mu, ya Allah.
Saya pulang, meliuk-liuk melewati kemacetan pinggiran kota, dengan setumpuk pikiran di kepala. Sudah berapa kali saya dapatkan, sebuah gedung perkantoran megah, dengan tempat sholat yang mirip dengan gudang?
Karena tuntutan pekerjaan, saya sering keluar masuk kampus dan perkantoran. Dan situasi seperti ini sudah seperti typical: gedung megah, tinggi, dengan lobby dan ruang kerja yang nyaman, namun tak menyisakan satu ruangan pun untuk sholat, suatu ibadah yang nabi katakan sebagai tiang agama. Sebagai gantinya, pihak perkantoran menyediakan tempat sholat di basement, di sela-sela parkir kendaraan. Atau sebaliknya, tempat sholat sering diletakkan di bagian tertinggi gedung, seperti di kantor saya. Ini masih lumayan, karena tempatnya terbuka, sehingga angin dan debu jalan leluasa menerobos. Setidaknya, sholat tidak dilakukan dalam keadaan pengap.
Tentu ada juga gedung-gedung perkantoran yang menyiapkan tempat sholat yang memadai, meski tidak harus mewah. Gedungnya terawat. Sajadah dan mukena secara teratur dibersihkan. Majalah dindingnya secara berkala diupdate.
Pembaca yang baik, sholat adalah sejenis ibadah yang menuntut konsentrasi tinggi. Konsentrasi ini adalah awal kekhusyuan. Dengan khusyu’-lah kualitas sholat diperoleh.
Nah, konsentrasi tentunya memerlukan daya dukung lingkungan. Lingkungan yang bising, pengap, beraroma kurang sedap, secara sunnatullah, akan mengurangi konsentrasi. Rasulullah pernah menolak sajadah yang bergambar, karena khawatir akan mengganggu konsentrasi beliau. Beliau juga memerintahkan imam untuk menyegerakan sholat apabila terdengar suara anak menangis, karena khawatir si ibu akan merasa resah dalam sholatnya. Selain itu, beliau juga secara optimal membersihkan diri. Salah satu sunnah beliau sebelum sholat adalah bersiwak (menggosok gigi), dan memakai harum-haruman.
Dari situ kita simpulkan, salah satu syarat khusyu’ diperoleh dari situasi dan kondisi ketika sholat. Dilakukan. Terlalu arogan kalau kita menganggap situasi dan kondisi tidak mempengaruhi kekhusyuan sholat kita.
Bagaimana sholat yang dilakukan di tempat-tempat seperti yang saya gambarkan di awal tulisan ini? Saya khawatir pelaksanaan sholat tersebut hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban.
Sesungguhnya, yang bertanggung jawab memakmurkan masjid adalah seluruh orang beriman yang berada di wilayah masjid tersebut. Bagaimana cara mewujudkan tanggung jawab tersebut?
Mungkin, yang pertama kali harus dibangun adalah kesadaran. Kesadaran diperoleh setelah adanya informasi, bahwa Masjid bukanlah sekedar bangunan pelengkap.
Siapa yang harus memulai?
Setidaknya, Anda, setelah membaca tulisan ini, mulai menyusun gagasan praktis, apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki situasi di tempat Anda (kecuali kalau Masjid di tempat Anda sudah representatif untuk beribadah). Jadikan ini sebagai peluang amal. Siapa tahu dapat menjadi jalan lain bagi kita untuk bertemu dengan senyumNya.
***
Sumber: (eramuslim) Sabruljamil.Multiply.Com
No comments:
Post a Comment